Tapanuli.online – Sidang dakwaan terhadap Gordon Hassler Silalahi di Pengadilan Negeri Batam, Selasa (26/8/2025), bukan sekadar formalitas hukum. Bagi Gordon, setiap detik di ruang sidang adalah pertarungan hidup: mempertahankan nama baik, pekerjaan, dan keluarganya. Di tengah dugaan kriminalisasi yang membelit, satu keyakinan tetap menyalabahwa hakim akan menjadi benteng terakhir bagi keadilan.
Setiap ketukan palu majelis hakim kelak bukan hanya menentukan nasib Gordon, tetapi juga menjawab pertanyaan publik: apakah hukum di negeri ini masih berpihak pada yang lemah, atau justru menjadi pisau yang melukai rakyat kecil?
Kasus Gordon menyisakan banyak kejanggalan. Ia telah bekerja, faktur resmi diterbitkan, dan pembayaran untuk jasanya justru masih menyisakan tunggakan. Dari nilai Rp30 juta, baru Rp20 juta yang dibayarkan. Namun alih-alih dianggap urusan perdata, perkara itu digiring ke ranah pidana. Dari Polsek Batu Ampar hingga Polresta Barelang, Gordon akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Publik pun melihat bayangan kriminalisasi semakin nyata.
Dalam situasi ini, hakim menjadi tumpuan terakhir. Vabiannes Stuart Wattimena, S.H., selaku Ketua Majelis Hakim, bukan sekadar sosok di balik toga hitam. Ia adalah representasi negara yang paling dekat dengan rakyat kecil. Ketika penyidik diduga keliru menafsirkan fakta, dan jaksa dinilai bisa salah memahami pasal, hakimlah yang memiliki kuasa moral sekaligus konstitusional untuk meluruskan jalan hukum.
Kuasa hukum Gordon, Niko Nixon Situmorang bersama timnya, telah mengajukan eksepsi. Mereka menilai dakwaan jaksa tidak utuh dan sarat kejanggalan.
“Kalau perkara ini dibaca secara utuh, Gordon bukan pelaku, melainkan korban kriminalisasi,” tegas Anrizal, salah satu pengacara Gordon.
Pernyataan itu menggema di ruang sidang. Namun publik sadar, apa pun perdebatan antara jaksa dan pengacara pada akhirnya akan bermuara pada kebijaksanaan hakim.
Bagi keluarga Gordon, harapan itu bukan sekadar kata-kata. Dari tatapan mata anak-anaknya, tersimpan doa agar sang ayah tidak dikorbankan oleh tafsir hukum yang dipaksakan. “Kami percaya hakim akan melihat dengan mata hati, bukan sekadar teks dakwaan,” ucap Anrizal.
Kasus ini kini menjadi perhatian luas. Dari ruang redaksi media hingga obrolan di warung kopi, perkara Gordon dibicarakan sebagai simbol pencarian keadilan. Semua mata kini tertuju pada majelis hakim: apakah Gordon akan terus digiring arus kriminalisasi, atau diselamatkan oleh kebijaksanaan hukum.
Bagi keluarga yang menanti dengan air mata, hakim bukan sekadar pemutus perkara. Ia adalah penentu apakah panggilan “ayah” harus terkubur di balik jeruji besi, atau kembali pulang dengan rasa lega dan keadilan yang sesungguhnya.(*)