Tapanuli.Online – Sembilan tahun sejak Perda No. 9 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan Lingkungan serta Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Lingkungan (Kepling) diberlakukan, implementasinya di Kota Medan masih menuai persoalan. Meski telah diperkuat dengan Perwal No. 51 Tahun 2021, praktik di lapangan menunjukkan adanya penyimpangan, terutama dalam proses seleksi kepling.
Sejumlah laporan menyebutkan adanya kepling yang direkrut meski tidak memenuhi syarat minimal dukungan 30 persen warga, sebagaimana diatur dalam regulasi. Bahkan, ada pula yang bukan warga lingkungan setempat namun tetap direkomendasikan oleh lurah dan camat. Kondisi ini menimbulkan protes dari warga dan menjadi bahan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi I DPRD Medan.
Anggota Komisi I DPRD Medan, Robi Barus, yang juga mantan Ketua Pansus Perda Kepling, menegaskan bahwa mekanisme perekrutan sudah jelas. “Selama calon memenuhi dukungan minimal 30 persen, ia berhak ikut seleksi. Proses selanjutnya dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk kelurahan dan kecamatan,” ujarnya.
Namun Robi mengakui adanya penyimpangan di lapangan. “Banyak lurah dan camat tidak amanah, bahkan ada dugaan praktik ‘setoran’. Hal ini kerap mencuat saat RDP,” ungkapnya.
Karena itu, Komisi I tengah mewacanakan revisi Perda. Beberapa poin yang dipertimbangkan antara lain masa jabatan kepling diperpanjang dari tiga menjadi lima tahun serta peningkatan dukungan warga menjadi 40 persen atau bahkan sistem 50+1, untuk mengurangi konflik horizontal.
Robi juga menolak wacana pemilihan langsung kepling. “Ada 2.001 kepling di Medan. Jika semua dipilih langsung seperti kepala daerah, itu boros tenaga dan biaya. Di seluruh dunia juga tidak ada,” tegasnya.
Ia mengingatkan agar proses seleksi tetap mengacu pada domisili asli dan data valid. “Jangan sampai orang yang sudah pindah tapi tak urus surat tetap bisa kasih dukungan. Itu menyalahi aturan,” pungkas Robi.